SOLO,Bizznetlink.com - Mediasi perkara perlawanan terhadap eksekusi tanah sriwedari yang diajukan FX Rudy Hadyatmo ex Walikota Surakarta No:247/Pdt.G/2020/PN.Skt di Pengadilan Negeri Surakarta gagal dan sidang dilanjutkan dengan bantahan dari pihak ahli waris sriwedari, Rabu (31/3/2021).
Sebagaimana
diketahui Walikota Solo mengajukan gugatan keberatan terhadap sita eksekusi PN
Surakarta terhadap tanah/bangunan Sriwedari seluas 10 ha yang terletak di Jl.
Brigjen Slamet Riyadi Kota Surakarta yang telah dilaksanakan Juru Sita
Pengadilan pada 14 Nopember 2018 dan Walikota Solo meminta agar sita tersebut
dibatalkan dengan alasan Pemkot Surakarta mempunyai bukti kepemilikan yang baru
berupa SHP No:046 tertanggal 30 September 2019 tertulis a/n. Pemkot Surakarta
dan aset itu milik publik.
Bantahan tegas
gugatan Walikota Surakarta yang diajukan oleh FX Rudy Hadyatmo tersebut menurut
Kuasa Hukum Ahli Waris Sriwedari Dr.HM. Anwar Rachman,SH,MH didasarkan pada
bukti sertipikat abal-abal. Menurut Anwar Rachman, bukti kepemilikan ahli waris
terhadap tanah sriwedari seluas 10 ha
tersebut, berdasarkan bukti otentik yakni RV Eigendom No:295 dan Akte
Assisten Resident Surakarta tanggal 05-Desember-1877 No:59 a/n RMT
Wirjodiningrat serta turunan peta Minuut
Kel. Sriwedari Blad:10 yang dikeluarkan Kantor Pendaftaran dan Pengawasan Tanah
Surakarta (BPN) dan peralihan hak berdasarkan Akte Jual Beli No:10 tanggal 13
Juli 1877 dibuat Notaris Pieter Jacobus
Bukti tersebut
dikukuhkan putusan MARI No:3000-K/Sip/1981 tanggal 17 Maret 1983 dan berita
acara eksekusi ganti rugi sewa tanah No:592.2/221/1987 tanggal 18 April 1987,
putusan MARI No:125-K/TUN/2004 tanggal 20 Pebruari 2006 dan PK No:29-PK/TUN/2007
tanggal 17 April 2009 serta No:3249-K/Pdt/2012 tanggal 31 Agustus 2015 yang
menyatakan bahwa tanah bangunan seluas kl. 10 ha di Jl. Brigjen Slamet Riadi
Laweyan Surakarta adalah milik ahliwaris almarhum RMT. Wirjodiningrat dan
menyatakan perbuatan Pemkot Surakarta yang menguasai tanah milik ahli waris
tersebut adalah perbuatan melawan hukum yang merugikan Penggugat serta
menghukum Pemkot Surakarta dan atau siapa saja yang memperoleh hak dari padanya
untuk menyerahkan tanah beserta bangunan diatasnya kepada Penggugat dan apabila
perlu dengan bantuan alat Negara.
Atas putusan
tersebut, Pemkot Surakarta telah mengajukan PK dan telah ditolak MARI
No:478-PK/PDT/2015 tanggal 10 Pebruari 2016, sehingga semua upaya hukum
terhadap perkara kepemilikan tanah dimaksud telah habis/tertutup dan untuk itu
Pemkot Surakarta telah diberikan teguran (aamaning) sebanyak 13 kali oleh Ketua
PN Surakarta untuk menyerahkan secara baik-baik tanah /bangunan tersebut kepada
ahli waris sebagai pemiliknya sesuai perintah pengadilan, namun Pemkot Solo
sebagai Termohon Eksekusi tetap tidak mentaati putusan pengadilan tersebut
sehingga agar tanah dan bangunan tidak dirusak, dipindahtangankan, dirubah
fungsinya, maka diletakkan sita untuk persiapan pelaksanaan eksekusi
pengosongan.
Bahwa
selanjutnya Ketua PN Surakarta menerbitkan Penetapan Eksekusi Pengosongan
No:10/PEN.PDT/EKS/2015/PN.Skt tanggal 21 Pebruari 2020 yang memerintahkan
Panitera untuk melakukan eksekusi pengosongan paksa terhadap objek sengketa
tanah Sriwedari seluas 10 ha dimaksud untuk dikosongkan dari penghuni serta
barang-barang penghuni dan berdasarkan penetapan perintah eksekusi pengosongan
dimaksud, PN Surakarta telah melakukan 2 kali rapat gabungan untuk persiapan
pelaksanaan eksekusi pengosongan paksa terhadap Sriwedari dengan mengundang
aparat keamanan dan tokoh ormas dan setelah pelaksanaan rapat gabungan yang
kedua, kegiatan persiapan eksekusi pengosongan terhenti, karena adanya larangan
dari Pemerintah Pusat untuk berkumpul dan selalu jaga jarak akibat adanya pandemi
COVID-19.
Dasar Walikota
Solo mengajukan pelawanan terhadap sita tanah tersebut karena Pemkot Solo
memegang SHP No:26, SU tanggal 24 Pebruari 2003 seluas 6.968 M2 dan SHP No:46
terbit tanggal 30 September 2019 seluas 870 M2 dan menurut Anwar Rachman yakin
gugatan Pemkot tersebut akan ditolak oleh pengadilan karena sesuai aturan bahwa
yang dapat mengajukan perlawanan terhadap sita harus orang yang memiliki
kedudukan hukum atas dasar hak milik yakni hanya pemilik barang yang disita
sesuai aturan pasal 195 (6) HIR dan pasal 206 (6) RBg), sedangkan Pemkot Solo
sesuai dengan pengakuannya hanyalah pemegang hak pakai dengan bukti SHP No:26
dan No:46, menurut ketentuan Pasal 41 UU No:5 Tahun 1960 (UUPA) hak pakai
adalah hak menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, sedangkan Pemkot bukanlah
pemilik tanah yakni hanya pemakai tanah, maka menurut hukum tidak dapat
mengajukan perlawanan termasuk penyewa dan pemegang hak tanggungan atas tanah.
Selain itu
menurut Anwar, masih ada syarat lagi yang harus dipenuhi yakni pihak pemilik
tanah tersebut bukan pihak dalam perkara pokok, sedangkan Pemkot Solo adalah
pihak dalam perkara pokok yakni sebagai Tergugat I dan Termohon Eksekusi dalam
perkara No:3249-K/Pdt/2012 tersebut, sehingga gugatan tersebut harus ditolak.
Apalagi menurut Anwar, sertipikat yang dipakai untuk mengajukan gugatan
tersebut abal-abal, indikasinya, SHP No:46 terbit 30 September 2019, sedangkan
putusan kepemilikan bahwa tanah tersebut milik ahli waris telah berkekuatan
hukum tetap sejak 17 Maret 1983, dasar penguasaan tanah Pemkot dicabut
berdasarkan putusan MARI sejak 20 Pebruari 2006 dan Pemkot Solo dinyatakan
melawan hukum menguasai tanah sriwedari berkekuatan hukum tetap sejak 31 Agustus 2015 dan tanah telah disita
Juru Sita 15 Nopember 2018. Dengan demikian, kalau SHP No:46 baru terbit 30
September 2019, artinya secara hukum sertipikat tersebut diterbitkan melawan
putusan pengadilan dan setelah Pemkot ditegur pengadilan bahkan setelah tanah
disita pengadilan karena sita telah dilaksanakan pada 15 Nopember 2018. Kalau
toh benar sertipikat tersebut asli, maka tindakan Pelawan bersama Kepala Kantor
Pertanahan Kota Surakarta merupakan tindakan merendahkan harkat dan martabat
pengadilan (contempt of court) serta merupakan tindak pidana permufakatan
jahat.
Selain itu,
Pemkot Solo juga beralasan bahwa
perlawanan terhadap sita tanah sriwedari tersebut diajukan karena tanah
Sriwedari saat ini telah menjadi aset publik, cagar budaya dan aset negara, juga pasti akan ditolak oleh pengadilan, hal
ini karena alasan tersebut tidak ada dasar hukumnya dan bahkan alasan tersebut
pernah diajukan sebagai alasan Permohonan PK terhadap putusan pembatalan
sertipikat HP No:11 dan No:15 a/n Pemkot No:124-K/TUN/2004 dan alasan tersebut
ditolak oleh MARI No:29-PK/TUN/2007 tanggal 30 September 2009, sehingga dengan
demikian alasan tersebut tidak bisa diulang-ulang dan diajukan lagi sebagai
dasar gugatan baru.
Dengan demikian,
rangkaian perjalanan panjang perkara Sriwedari sejak 24 September 1970
tersebut, mengindikasikan buruknya Tata Kelola Pemkot Surakarta, lemahnya
pengetahuan dan pemahaman hukum aparatnya, tidak berfungsinya hukum serta
buruknya sistem administrasi pertanahan Kantor Pertanahan Kota Surakarta dan
hal ini diperparah lemahnya pengawasan dari Inspektorat, Kepolisian, Kejaksaan,
BPK, KPK maupun pengawasan secara politik dari DPRD Kota Surakarta.
“Gugatan
perlawanan tersebut semata-mata untuk berkelit dari jeratan hukum serta mengulur-ulur
waktu penyerahan tanah kepada ahli waris sebagai pemiliknya yang sah menurut
hukum dan tindakan Pemkot yang terus menciptakan perkara baru sehingga
penyelesaiannya berlarut-larut adalah bertentangan dengan prinsip keadilan dan
kepastian hukum serta merupakan preseden buruk bagi penegakan hukum sesuai
amanat Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 serta merupakan sebuah ironi, apabila rakyat
diminta taat hukum, pejabatnya justeru semena-mena melanggar hukum secara
terstruktur, sistematis dan masif,” pungkas Dr. Anwar Rachman pengacara asal
Jakarta tersebut dalam sidang di Pengadilan Negeri Surakarta Rabu 31 Maret
2021. (EKO/HERKY)